fist cerpen

by 18.04 0 komentar

Mendung

Pagi itu terasa beda. Awan terasa bergelayut rendah. Kelabu, seakan mengintari kelasku. Tapi kenapa seperti aku sendiri yang merasakannya ? Kenapa seolah mereka semua bergembira ?

Aku menunggu, menunggu dan menunggu. Sesekali kupandangi jam dinding yang bertengger rapi,simetris di belakang ruangan ini. Hatiku berguman, ’Jam jangan kau cepat berdetang. Sabarlah, sebentar lagi... berhentilah.... kumohon... sebentar lagi Bapakku pasti kesini, please...kumohon....’.

Jari-jariku menyusuri setiap serat coklat muda bangkuku. Mataku kini lebih sering menatap setiap jarum jam itu. Aku bukan lagi memohon tapi berharap. Ku berharap jarum itu melambat bila kutatap. Mungkin saja dia akan malu dan melambat. Walau Ku sekarang tahu itu hanya khayalan.

---------------------------------------------------------------------------------------

SD ini tampak tak berubah banyak. Ruangan ini juga serupa, tak jauh bedanya dengan ruangan di pagi itu . Dindingnya masih sama, biru muda terlalu muda. Hiasan dindingnya juga sama, Cut Nyak Din. Yang berbeda hanyalah mushola kecil yang ada didepan.

Aku kembali bernostalgia. Mmmm, sudah tujuh lebih aku lulus dari sekolah ini. Sepertinya masih segar kenangan-kenanganku bersama bangunan tua ini. Teman, sahabat bahkan cinta monyet terasa manis bila diingat. Aku sadar bila ada manis pasti ada pahit. Ya, ada luka yang tertoreh di bangunan ini.

----------------------------------------------------------------------------------------

’Bapak, kapan kau datang ? Kenapa lama sekali ?’ aku masih disana, kursi bangku kayu Sdku sayang.

Orang-orang pada berdatangan. Berbaju rapi, berjaket atau mengenakan batik. Mereka datang silih berganti. Disampingku, bocah-bocah kecil menyambutnya. Tampak senyum lebar bersliweran di wajah-wajah tampa dosa itu. Aku gelisah, semakin gelisah.

Tubuhku blingsatan. Jantungku tak karuan. Hatiku seolah membendung hawa kesia-siaan. Masihkah ada harapan ? tinggal tiga menit lagi. Tidak ! aku tak boleh putus asa. Masih ada tiga menit bererti masih ada harapan.

Bu Guru seperti menyiapkan pidato yang akan dikodbahkannya pada kami. Semakin lama persiapannya terlihat semakin matang. Bu Guruku tersayang, andai aku dapat ungkapkan risau hatiku padamu.

Pikiranku berlomba. File-file rencana penundaan penyerahan rapot sudah dikepalaku. Tapi apa aku berani ?

-----------------------------------------------------------------------------------------

Mendung semakin gelap dan kejam. Angin seperti pisau menyambar. Mereka seperti virus yang tak punya ampun. Mereka ringan tapi menusuk. Memberikan seberkas luka sembilu, perih....

Saat itu harusnya aku tak usah berharap. Cuek, acuh dan tak perduli aturan bukankah ciriku. Lagian kapan bapakku pernah mengambil rapotku. Hanya saja keinginan itu tak bisa kubendung. Mereka tenggelamkanku dalam harapan yang kini hampir sia-sia. Aku ingin seperti anak-anak normal lainnya !!!

”Mbak, mantan murid kene ya ?” kakek penjaga Sdku ternyata.

”Enggeh, kek. Nami kula Shasa,”.

”Ooo, mbak Shasa toh. Putrane Pak Ramelan tho ? suwe ra dolan-dolan tengkene ya ? pangling aku, inget ra karo Pak Ponijo iki hayoo?”kakek itu ramah sekali.

---------------------------------------------------------------------------------------

Banyak tawa diruangan kami. Namun, mendung justru turun dihatiku. Usahaku menata hati semenit tadi tampak tak berhasil. Sepuluh lebih lima, sudah lebih dari lima menit dari undangan Bu Guru kemarin.

Bulir-bulir air mata terasa melebihi kapasitas mataku. Lukaku terasa menyambar dimana-mana. Apa keinginanku salah ? Aku hanya ingin diperhatikan, sedikit saja.

Bu Guru mulai maju kedepan. Berusaha memposisikan diri bagai garis katulistiwa buatnya susah bergerak. Dia memulai pidaonya...

Rencana tinggal rencana aku tak berani melukai guruku. Batinku menjerit. Luka ini menyambar dimana-mana. Oh Bapak, aku tahu sejak ibu meninggal Bapak berjuang sendirian menafkahi keluarga. Tapi bapakku aku bukan hanya butuh uang tapi juga kasih sayangmu. Oh Bapak, Aku merindukan tawamu bersamaku. Aku rindu dongengmu. Aku rindu dirimu. Bapak....

Bu Guru kembali didepan kelas. Ia berbicara tegas dan cepat. Semua diam. Satu persatu orang-orang tua itu berdiri bersama anak-anaknya. Aku masih disini menunggu Bapak... aku berdoa, bapak... Semoga engkau lekas datang sebelum aku harus berdiri sendirian.... semoga engkau datang dan dengan senyummu kau katakan bahwa kau lupa...Aku berdoa uantukmu, bapak...

-----------------------------------------------------------------------------------------

Senja ini sudah memerah. Udaranya juga semakin dingin saja. Aku bergegas merapatkan jaket buntutku dan berpamitan dengan Pak Ponijo. Hawa ini sama. Hari dan tanggalnya juga sama. Memori tujuh tahun lalu jadi terbuka...

Seorang anak SD berbaju rapi, bersepatu mengkilap duduk di sebuah mobil mewah. Wajah anak itu sendu. Air mata seperti tak henti-hentinya keluar dari kelopak mungilnya. Tak ada senyum dipipinya dan dirangkulnya sebuah rapot biru. Anak itu adalah aku.

Rizka

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar: